Jumat, 09 September 2011

temanku, TAM

Temanku, TAM
Kulihat jauh seseorang disana. Berjalan dengan rendah hati dan dengan ekspresi wajah yang flat. Cepat tersadar seseorang itu adalah laki laki berambut pendek, berwajah kotak, kulitnya sawo matang dan cukup tinggi. “oooohhh, dia”. Aku mengenalinya. Lelaki itu bukan kekasihku. Bukan juga lelaki yang aku cinta. Tapi aku menyayanginya seperti aku menyayangi semua teman temanku. Dan Aku kini sedang berusaha membuat ia tersenyum, kau akan tahu apa alasannya nanti.

Panggil saja ia Tam. Dia bukan laki laki yang humoris, ini bukan hanya sekedar pendapat, tapi kenyataan. Aku mengenalnya sejak masih SMP. 2 tahun aku selalu sekelas dengan dia, dan bukan hanya itu, karena yang lebih membosankan lagi aku selalu 1 kelompok dengan Tam, laki laki yang tak seorangpun tahu berapa jumlah giginya ! saking tak pernahnya dia tertawa, jangankan tertawa, senyumpun boro boro. Tapi Tam memang laki laki yang baik, ia nurut jika aku minta bawakan sesuatu untuk keperluan kelompok. Tapi ya itulah, bisa dihitung dengan jari kapan dia SEDIKIT tersenyum.

SMP ku selesai. Aku dan semua teman teman ku pisah, dan beda SMA. Tak apalah nanti juga akan ada teman teman baru ucapku. Aku masuk di salah satu SMA Islam di Bekasi. Setelah lihat daftar nama dan kelas di papan pengumuman yang terpampang di bawah lantai 2 gedung LAB, aku segera menuju kelas  baruku. Aku kini kelas X3 kawan. Ku lihat kelas ini cukup nyaman. Warna cat dindingnya hijau muda, di depan terdapat 1 blackboard dan 1 whiteboard.  Di sisi kiri depan ada meja guru. Aku duduk di barisan depan, bangku ke 4 dari kanan. Teman sebangkuku namanya Arni. Ia agak sedikit lebar, untunglah aku tetap tak kekurangan bangku untuk duduk :). Inilah kelas baru dengan wajah wajah baru yang belum aku lihat semuanya. Guru pertama waktu itu Ibu Haya. Kebetulan beliau wali kelas X3. Hari itu juga hari pertama kalinya Bu Haya mengabsen kelas kami dengan absen yang baru. Namaku disebut “Nady Putry”, aku segera mengangkat tangan tanda kehadiran. Satu persatu nama disebut, aku memperhatikan deretan sebutan nama itu untuk mengingatnya. Iseng iseng aku juga menulis nama nama baru itu di note ku dengan judul “TEMEND BARU WOY”. Nama ke 23 Sulistanti. Nama ke 24 Tono Prasetyo. Nama ke 25 Tam Indrawan. “HAH ?? TAM ?? aku kaget bukan main. Ku lihat kearah belakang, ternyata  benar, laki laki yang mengacungkan tangannya itu adalah TAM !! OMG.. Dia mengangkat kedua alisnya sebagai tanda mengucapkan “hai” padaku. Dalam hati tiba tiba berkata “ebbuuseng, si TAM lagi? Ampuunnn”. Yaaah, inilah kenyataannya. Awalnya ku kira sejak masuk SMA aku akan bebas dari laki laki yang SUPER ngirit senyum itu, tapi ternyata untuk tahun ke 3 aku lagi lagi dan lagi sekelas dengan laki laki itu. -,- zz. Sing sabarrrr ..

Hari hari berlalu, dia, laki laki super duper amat sangat pelit senyum sekali banget itu tetap tak berubah. Suatu hari aku tertidur di kelas. Malam begadang itu menunjukan akibatnya hari ini. Pelajaran pertama, FISIKA, aku lolos tidur tanpa ketahuan. Pelajaran kedua, MATEMATIKA, aku juga lolos tidur nyenyak. Tapi malangnya pelajaran ketiga, SEJARAH, aku kepergok mati kutu, dan dengan terpaksa berdiri di depan kelas dengan 1 kaki dan kedua tangan memegang telinga secara menyilang. Tapi kali itulah justru hari penting bagiku karena aku berhasil mengintip sedikit pancaran sinar kilauan gigi Tam, kilauan itu ku lihat keluar lewat celah celah bibirnya, tapi menyebalkan karena itu hanyalah untuk menertawakan kecerobohanku. Dan hari itulah saat paling bersejarah dalam hidupku, walaupun aku belum berhasil menghitun gigi depannya. #eh.

Ketika menginjak kelas XI aku lagi lagi 1 kelas dengannya. Bayangkan saja, 4 tahun !! Bosan ? Jangankan kau yang hanya membaca cerita ini kawan, aku pun setiap hari hanya bisa muntah dalam hati melihat kelakuan laki laki yang satu ini. Tapi di kelas XI  ini dia berubah 180 derajat !! benar benar berubah !! Dia menjadi orang yang sangat humoris. Yang sebelumnya aku hanya kesal karena wajahnya yang flat,  sekarang tidak pernah lagi. Suasana kelas baru yang penuh dengan banyolan dari teman teman baru yang doyan  bercanda membuatnya jadi salah satu orang yang super duper kocak dan humoris. Aku pun kini lebih banyak tertawa dari pada cemberut karena dia. Dan percaya atau tidak, baru kali itu aku lihat dia tiada hari tanpa tertawa. Dan mulai saat itulah aku berhasil menghitung gigi seri atas bawahnya yang berjumlah 8. Atas 4 bawah 4 plus 2 gigi taring  atas, 2 gigi taring bawah dan gusi merahnya. Kau bisa bayangkan kawan sebesar apa ia tertawa sampai sampai bisa ku hitung semua gigi itu hanya dengan waktu 5,3 detik. Sebuah rekor menghitung yang amat sangat luar biasa menurutku #he.

Tapi seiring waktu berjalan perubahan terjadi. Kala itu ia mengirim sms padaku. Isinya “innalilahi putry, ayah saya meninggal”. Hanya pesan itu, satu satunya pesan menyedihkan yang aku terima darinya. Aku segera mengarahkan motorku kerumahnya. Sesampainya  ku disana, aku disambut keluarganya. Mereka bilang kalau Tam sedang ikut memandikan jenazah ayahnya. Aku menunggu Tam selesai untuk mengatakan bela sungkawaku. Sesekali ku lihat ia menyapa teman temannya yang menunggu di luar rumah termasuk aku. Tanpa senyum yang baru ia raih, tanpa semangat yang dari dulu sempat aku kagumi dibalik dirinya, tapi dengan wajah dan tatapan yang amat sedih dan menyedihkan. Wajah flat itu telah lenyap, bukan berganti dengan wajah ceria dan humorisnya, tapi wajah sedih karena kehilangan yang amat sangat dalam. Setelah semua prosesi pemandian, pengkafanan, dan penshalatan selesai, Tam menghampiri ku dan menangis di belakangku. Ia menutup wajah sedihnya sedemikian rupa agar tak nampak, namun tak bisa. Air mata itu, tangisan itu, kucuran air mata itu membasahi baju koko putihnya, membuat kami semua yang ada di sekelilingnya bersedih. Inilah pertama kalinya aku melihat ia bersedih. Menangisi kepergian sang ayah yang pergi tanpa isyarat apapun. Penyakit akut lambung itu telah merenggut nyawa ayahnya. Telah beberapa bulan lalu beliau menahan rasa sakit akibat penyakit itu, namun beliau tak pernah mengatakan hal itu. Barulah setelah mendekati ajalnya, dokter mengatakan bahwa sebenarnya penyakit yang membuat sang ayah meninggal itu sudah ada sejak 5 bulan yang lalu. Namun tak pernah ia mengeluhkannya karena menurutnya bukan apa apa, hanya hal biasa.

Sejak itu ku rasa semua menangis  karena kehilangan. Tam bercerita kepadaku bahwa ia telah kehilangan sosok yang selama ini membuatnya semangat untuk sekolah. Sosok  yang selalu menjadi panutan dia dan ketiga adiknya. Waktu terus berjalan tanpa pernah mengisyaratkan sesuatu. Kesempatan dunia itu lenyap. Aku hanya bisa mengatakan “sabar ya, yang beliau butukan sekarang adalah doa dan kamu harus tetap semangat karena ibu kamu, supaya almarhum juga bahagia disana melihat kamu yang tetap tegar”, Tam hanya mengangguk diiringi tangisannya yang masih membeludak.

“aina maa takuunuu yud rik kkumul mautu wa law kuntum  fii buruu jimmusyayyadah”

“dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh” (Q.S An Nisaa : 78)

‘Kullu nafsin zaikatul maut’ telah berkumadang saat itu, menyadarkan semua nyawa akan hakikatnya yang akan lenyap suatu saat. Tanpa pandang apapun yang berkaitan. Tanpa ada yang tahu kapan, dimana, dan siapa. Tak ada yang mampu menghalanginya. Usaha kita adalah membuatnya husnul khatimah atau su ul khatimah. Sejak kejadian itu, wajah kesedihan dan kehilangan terlihat. Dan sejak kejadian itu jugalah wajah cerianya hilang ...

Itulah alasannya kenapa aku dan teman teman ku yang lain berusaha mengembalikan senyum dan tawanya yang dulu..


Kamar puput, 9 September 2011

Jam 15.30 – 18.10 WIB

Dwi Putri C