Sabtu, 06 Agustus 2011

Lelaki Tua di Tepi Jalan Itu ..


Lelaki Tua di Tepi Jalan Itu ..
            Desiran halus angin mangusik kehidupan nyata yang penuh realita yang terkadang jauh dari yang selama ini ditata. Gemuruh bising mewarnai kehidupan anak manusia yang terlunta lunta mencari celah cahaya hidupnya, karena ia yakin jauh di dalam hatinya ada sebersit cahaya itu, walau mungkin sangat sulit untuk ia genggam. Kulit yang muda kini telah lama menua, rambutnya memutih namun tetap lembut meski tak lagi lebat, tenaga yang dulu gagah kini meninggalkan bijaknya. Semua itu menjadi saksi atas apa yang telah  dilakukan dimasa muda, walau sejatinya ia tak nampak, namun teriakan batin jiwa tentu tak akan pernah mengumandangkan dusta. Mungkin waktu memang kejam, tak pernah memberikan kesempatan kedua yang sama dalam detiknya, ia hanya berkata tanpa suara bahwa “INILAH HIDUPMU !! TAK AKAN PERNAH KAU RASAKAN WAKTU YANG SAMA UNTUK KEDUA KALINYA !!”. Lalu masih berlakukah mimpiku ? mimpinya ? mimpi semua anak manusia yangterlahir untuk mendapatkan kesempatan dalam setiap langkahnya, salah siapa? Salah siapa jika ternyata meski ia sudah membanting tulang sekuat tenaga namun kesempatan tak jua memihaknya. Inilah masa tua itu, menerpa semua kenyataan bahwasanya setiap manusia akan diberi kesempatan yang satu ini. Kesempatan? Ya ! kesempatan menyesali masa muda atau mensyukurinya.
             Saat itu hati ini merasa berbeda sekali. Firasat sering kali benar, bersyukur karena allah telah memberinya. ketika itu sore hari yang tak cerah. Lagit terbalut awan hitam yang menutupi bumi. Pertanda buruk. Ya, pertanda buruk, hal buruk akan terjadi sore ini. Namun  aku tetap percaya Allah ada bersamaku. Setelah memenuhi kewajiban di sekolah aku segera pulang untuk merebahkan diri. Kondisi tuan langit dan tuan awan saat itu tak masalah bagiku, hal biasa. Aku mulai mengendarai motorku pulang dengan segera sebelum tuan tuan itu menghujani bumi.
             Aku sedang di perjalanan. Namun entah apa yang terjadi aku merasa benar benar berbeda. Firasat burukku semakin kuat. Sepanjang jalan hati dan bibir ini tak henti mengucap AsmaNya, meminta pertolonganNya. Benar saja, tiba-tiba hujan deras mulai berjatuhan, diiringi angin kencang yang membuat pohon - pohon tak kuasa menahan dedaunannya untuk berguguran bersama arah angin. Aku hanya memakai jaket yang tadi pagi sempat tak ingin aku bawa, namun panggilan mamah yang berlari mengejarku membawa jaket itu menahanku, membuatku membawanya. “takutnya ujan” hanya kata itu yang mamah katakan, dan benar saja, sore ini hujan, bukan hanya hujan tapi angin kencang. Saat itu aku merasa sangat berterimakasih pada mamah. Aku anak perempuan yang rentan sakit katanya jadi, hujan dan angin ini pasti membuat kesehatanku menurun. Tapi kini, setidaknya jaket ini bisa meminimalisir akibat itu. Terima kasih mamah.
            Jalanan saat itu sepi, ada banyak mobil tapi hanya ada 5-8 pengendara motor. Di saatpengendara motor lain berteduh sejenak, Aku tetap mengendarai motorku. Sampai tiba saat itu, aku berhenti meneduh di bawah teras rumah gubuk yang tak tahu milik siapa. Rumah ini bukan di tepi jalan raya besar, tapi di tepi jalan kecil perumahan. Jalan ke rumahku memang melewati jalan ini, jadi rumah ini tak asing bagiku. Terlintas mataku memperhatikan kucing putih hitam yang meneduh di dekat tiang gubuk ini. Ku lihat sisi lain di sekitar ku, tak ada siapa siapa kecuali aku dan kucing itu. Aku menggigil. Tak pernah aku sangka jika ini akan sangat dingin. Hati ku terus berdoa, semoga cepat reda dan aku bisa meneruskan perjalanan pulang. Handphone ku berbunyi. Ada pesan yang masuk.
Mamah (+628138778****)
Teh, tlpn ko g d angkat2 ?
teteh dmn? disana ujan g?
g usah plng dl, d skolah aja dl,
d sni ujan gd bnget.
Hti2 plngnya.

            Astagfirullahal adzim ada 8 kali panggilan tak terjawab dari mamah. Aku tak bisa menjawab pesan mamah. Tanganku terlalu lemas. Aku hanya bisa berharap semoga reda mulai tiba. 10 menit setelah itu, hujan mulai reda, sebelum ia deras kembali, aku segera mengendarai motoku untuk segera pulang.
            Aku tiba di rumah. Mamah membuatkan ku teh hangat dan aku bersihkan diri lalu berbaring istirahat sambil menunggu adzan magrib. Ucapan terima kasih ku pada Allah yang telah menolongku lagi hari ini.
            Keesokan harinya seperti biasa aku pergi sekolah pagi - pagi, dan pulang sore hari. Aku melewati jalan yang sama, karena menurutku ini jalan yang indah. Di sepanjang kanan kiri jalannya adapesawahan dan perkebunan, terkadang saat petang, kau bisa melihat sun set disini. Namun, dipertigaansebelum pasawahan kau akan melihat seorang laki-laki tua renta yang memakai baju satpam berwarna biru tua yang sudah usang, bertubuh kurus dan bertinggi badan sedang. Kulitnya sawo matang dan keriput, ia juga selalu mengenakan topi satpamnya yang tertera tulisan “SECURITY” yang  usang pula dan hampir tak terbaca dengan jelas. Tahukah kau siapa lelaki tua itu ? belakangan aku tahu bahwa ia lah pemilik gubuk tempat aku berteduh waktu itu. Sayangnya waktu itu aku tak melihatnya. Yang aku lihat hanya gubuk tua yang tak layak lagi. Atapnya rusak dan bocor. Tetesan air hujan menembusnyaketika hujan dan tiang nya telah keropos oleh hewan-hewan kecil pemakan kayu. Sandal jepit biru yang tak lagi berwarna biru menghiasi kakinya dan sampai saat ini bisa menopang tubunya yang masih tegak namun sedikit bungkuk. Tapi ia terlihat sehat. Hampir 3 tahun aku selalu melewati rumah kakek tua itu, tapi tak pernah sekalipun aku melihat anggota keluarganya yang lain bersamanya, atau bahkan istrinya. Aku prihatin terhadapnya, tapi aku bisa apa? Hanya berdoa semoga Allah menyayanginya.
            Suatu hari ku putuskan untuk mengunjungi temanku yang rumahnya tepat di seberang rumah kakek tua itu. Aku mengunjunginya. Setiba di sana aku duduk di teras depan dan mulai memperhatikannya. Aku juga sempat menanyakan tentang kakek tua itu kepada temanku. Temanku menceritakan banyak hal tentang laki-laki tua itu, kebetulan keluarganya dekat dengan kakek tua itu. Ia seorang pensiunan satpam sebuah pabrik dekat sini. Umurnya yang sudah lanjut membuatnya pensiun namun tanpa uang tunjangan masa tua. Ia memiliki seorang istri, 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Namun malang, Istri dan anak perempuannya meninggal dunia sejak kecelakaan tragis, saat perjalanan pulang dari kota yaitu saat 9 tahun yang lalu. Saat hujan dan angin deras, motor pinjaman yang dikendarai mereka tergelincir dan merusak pembatas jalan. Mereka tak terselamatkan, mereka jatuh ke jurang dan terbawa arus sungai yang saat itu meluap dan mengalir deras. Pernah kakek itu mencari jenazahnya ke pintu dan muara sungai, namun sia-sia. Yang ia temukan hanya kalung mas kawin yang dipakai oleh istrinya. Sejak kejadian itu ia harus mengganti motor pinjaman kepada si pemilik. Ia tak punya apa-apa. Tapi Allah menolongnya. Ia dibebaskan dari ganti rugi itu karena si pemilik motor tak tega. Aku terhentak mendengar cerita itu, adakah laki-laki sekuat itu yang tak larut dalam kesedihan dan tetap semangat untuk hidup?
 Beruntung ia masih memiliki 2 anak laki –laki yang bisa menjaganya. Namun Allah berkehendak lain. 3 tahun setelah kepergian sang istri dan anak perempuannya, 2 anak laki-lakinya itu memutuskan untuk merantau ke kota dan memperbaiki nasib mareka. Tanpa sepatah kata pun mereka pergi meninggalkan kakek tua itu. Hatiku sakit mendengarnya. Miris. Sekali lagi ku tanyakan, adakah laki-laki sekuat itu? Jika ada, bagaimana bisa ? aku yang hanya mendengar ceritanya pun tak kuasa jika ditempatkan di posisi itu. Tapi dia, lelaki tua itu, bisa. Kini kakek tua itu adalah seorang tukang parkir di pertigaan itu. Tukang parkir ? di tempat sepi kendaraan seperti ini ? mustahil kataku. Apa yang bisa ia dapat ? di dekat sini hanya ada 3-5 pabrik dan masing –masing kendaraan pabrik itu pasti jarang memberi upah parkir padanya. Ya Allah, untuk ketiga kalinya ku tanyakan, ada lelaki tua sekuat itu ?
            Temanku itu masuk sejenak, untuk mengambilkan aku secangkir minum. Ia tahu bahwa aku orang yang peka, jadi tak heran jika aku menanyakan tentang kakek itu. Aku terus memperhatikan kakek itu dari seberang rumahnya di teras depan rumah temanku. Lalu sebuah mobil datang dari arah seberang untuk belok ke arah seberang lainnya. Kakek itu segera membantu mobil itu menyebrang. Dan pengendara mobil itu memberinya uang receh yang sangat jelas terlihat oleh kacamata minus 2, silinder 1,5 ku bahwa itu hanya 3 uang receh yang bernilai kecil. Ya Allah, hatiku perih melihatnya. Siapa yang salah? Lelaki tua itu atau laki-laki pengendara mobilnya? Belum lagi saat pengendara mobil itu memberikan uang, mobilnya terlalu cepat, akhirnya uang receh itu jatuh dan lelaki tua itu harus memungut uang yang tidak seberapa di jalanan dengan mata tuanya yang sudah rabun. Ya Allah, ketika itu pula hidup berkumandang keras dan tegas bahwa “INILAH HIDUPMU !!!!” merontalah ! Menangislah ! Karena waktu tidak akan memberimu kesempatan yang sama !!
Setelah memungut uang receh itu ia kembali duduk di kursi hijau tuanya yang ia tempatkan di pinggir jalan agar ia bisa melihat mobil yang ingin lewat dan menyebranginya. Saat duduk ia menghitung uang itu dan mengeluskan kedua tangannya ke wajah keriputnya sebagai tanda bersyukur kepada Allah karena telah memberinya rezeki. Subhanallah, ada laki-laki setegar itu? Ternyata ada, dan ia persis di hadapanku!!
                                                Hari mulai petang, aku bersiap pulang. Sebelum pulang aku sempat melihat lelaki tua itu mengayun - ayun seorang anak tetangganya dengan penuh kasih sayang, ibarat seorang kakek kepada cucunya. Sekali lagi aku hanya bisa berdoa mudah-mudahan Allah menyayanginya.Aamiin…
                                                Langit petang hari itu mengingatkanku akan banyak hal. Tentang apa yang aku lihat, yang aku rasa, dan aku cerna hari ini. Kalau begitu tak ada kata putus asa yang pantas terucap, apalagi dari mulut anak manusia yang masih memiliki banyak kesempatan dalam hidupnya.
Seperti yang pernah ku bilang, jika kau melewati jalan ini saat petang, kau bisa melihat indahnyasun set, berkas cahaya oranye yang terang namun tidak menyilaukan membuat hati penatapnya terharu akan keindahannya. Sinarnya yang pudar dan membiaskan warna merah muda seperti aurora itu melukiskan sosok wajah si lelaki tua. Keadaan yang tak lagi memungkinkan tak ia jadikan alasan untuk patah semangat hidup. Sudah banyak pahitnya hidup yang ia kecap satu per satu. Lidahnya lebih sering mengecap duka daripada suka. Pancaran hangat sinar matahari petang itu mengatakan satu hal yang pasti terhadap ku, bahwa perjuangan akan hidup tak akan pernah kau dapat jika kau hanya menyerah dan tak pernah mengambil pelajaran dari alam dan orang lain. Mungkin kau pernah melihat sebuah bunga yang tumbuh di balik pohon atau batu besar, ia haus akan kasih sayang tapi semua yang melihatnya hanya melihat sebatas zahir yang selalu ia tampakkan manis, tapi tahukah mereka bahwa sesungguhnya setangkai bunga itu haus akan luasnya cakrawala manis kehidupan. Hari ini, untuk yang kesekian kalinya aku merasakan kasih sayang-Nya yang DIA titipkan lewat seorang yang tak pernah ku duga sebelumnya, lewat sosok lelaki yang kokoh ibarat karang tengah lautan yang terhantam, lewat sebuah kain sutera yang kuat namun tetap lembut, dan lewat seorang lelaki tua di tepi jalan itu ..

Bekasi. 10 September 2011
16.30 WIB

0 komentar:

Posting Komentar